Rabu, Desember 26, 2007

akankah budaya jawa akan seperti ini?

tulisan ini hanya berlaku bagi temen-temen yang asli jawa atau merasa bahwa dirinya adalah orang jawa, atau tertarik dengan budaya jawa. bagi yang tidak termasuk kriteria diatas anggap saja tulisan ini dongeng atau apalah yang anda anggap.

semain pesatnya perkembangan zaman, tidak dapat dipungkiri semakin cepat pula pengaruh globalisasi. pengaruh kebudayaan dari luar juga semakin mempengaruhi kebudayaan asli. melalui berbagai media seperti televis dan internet, kebudayaan luar terus merajalela menginvasi masyarakat. bukannya menjelekkan kebudayaan luar, tapi masyarakat kita cenderung ikut-ikutan kebudayaan luar tanpa disaring dengan norma-norma yang ada. Kebudayaan sendiri dianggap kuno, jelek, dan tidak bermutu. Saya ambil satu contoh, seperti kebudayaan jawa (soalnya saya orang jawa) dikalangan kita sendiri. Saya lihat, dalam kehidupan masyarakat kita, terutama bagian perkotaan dan perbatasan kota hampir tidak bisa dilihat mana orang jawa, mana yang bukan.

Bila dilihat pada pergaulan anak muda sekarang, sedikit yang memiliki unggah-ungguh. tidak hormat kepada yang tua dan tidak sayang kepada yang muda. parameter yang paling gampang untuk ini adalah dalam tata bahasa dan tingkah laku. dua hal ini sering dijadikan penilaian oleh orang lain terhadap diri kita.

Dalam budaya jawa, terdapat tiga tingkatan bahasa, yakni ngoko, krama madya, dan krama inggil. Bahasa ngoko digunakan untuk percakapan sesama teman akrab dan berbicara kepada yang lebih muda. krama madya digunakan untuk berbicara pada yang lebih muda tetapi memiliki kedudukan atau untuk ngajeni teman, juga dilakukan untuk obyek diri sendiri. krama inggil digunakan untuk berbicara kepada yang lebih tua; seperti anak kepada orangtua, murid kepada gurunya, atau pekerja kepada majikan;kromo inggil ini menunjukkan rasa hormat dan rendah hati pada pembicaranya.

sekarang sering kita lihat, banyak anak bicara ngoko kepada orang tuanya (seperti saya juga, tapi sudah mulai memakai krama inggil). Padahal itu bukan bahasa yang baik untuk digunakan berkomunikasi dengan orang tua. ada kemungkinan, anak malas untuk menggunakan bahasa krama inggil karena aturannya yang njelimet. tapi sesungguhnya, ada hikmah dibalik njlimetnya bahasa krama inggil. ini harus pake pengalaman pribadi, gak bisa didoktrin. tapi menurut saya, kalau kita bisa bahasa halus, kita akan lebih dihargai. mungkin juga orang tua masa bodoh dengan hal ini. padahal itu sama dengan membunuh identitas sendiri. orang jawa dikenal dengan perangainya yang halus. kalo dah gini, bakal kasar semua nih orang jawa. lha wong ngomongnya ngoko semua.

dalam penggunaan bahasa halus itu, terlihat bahwa orang jawa itu halus dan sabar. tidak terburu-buru dan tertata. berbicara dengan intonasi rendah dan sopan, tidak meninggikan suara dan menghormati yang diajak bicara.

sekarang sering kita dengar, orang-orang lebih sering menggunakan bahasa indonesia dan bahasa inggris. Bahasa indoesia okelah, lha wong bahasa persatuan NKRI. lha bahasa inggris??? mengapa kita belajar bahasa inggris? adakah alasan untuk belajar bahasa inggris? katanya sih itu bahasa internasional, katanya supaya gak ketinggalan sama yang lain. aaaahh, semua alasan itu hanyalah alasan yang dibuat-buat. bahasa inggris bahasa internasional? bahasa cina lebih banyak dipake bro daripada bahasa inggris! dah gugur tu argumen bahasa internasional. menurutku, bahasa inggris tak lebih dari invasi globalisasi yang akan mencabut manusia berbudaya non inggris lepas dari akar budayanya. Mending belajar bahasa jawa, budaya kita sendiri. aneh to, orang jawa gak bisa bahasa jawa. apa itu? padahal identitas paling mudah dari suatu budaya adalah bahasa. lha kalo orang jawa gak bisa bahasa jawa hilang sudah budaya jawa. padahal banyak orang luar jawa yang ingin belajar bahasa dan budaya jawa. salah-salah nanti anak cucu kita bila ingin belajar budaya jawa harus pergi keluar jawa untuk berguru. gak lucu banget.

saya sedih ketika melihat kebudayaan kita dipandang kuno dan membosankan oleh beberapa kalangan. kuno sih iya, tetapi kuno itu tidak mesti jelek. asalkan masih tetap relevan bagi saya itu tidak menjadi masalah. bosan? bagi saya sih tidak. justru malah mengasyikkan. kebudayaan itu harus didasarkan pada rasa cinta. bila terdapat rasa cinta, akan timbul rasa sayang, dan rasa sayang itu akan menimbulkan rasa memiliki. bila sudah memiliki rasa memiliki tentunya kebudayaan itu akan lestari dengan sendirinya, karena dijaga oleh orang-orang yang mencintai kebudayaan itu tadi. dan timbulnya rasa cinta itu beragam. ada yang langsung jatuh cinta pada pengalaman pertama, ada yang jatuh cinta karena terbiasa. seperti kata pepatah jawa, "witing tresna jalaran saka kulina"

salah satu kebudayaan kita yang diakui dunia adalah wayang. wayang yang kondang dari jawa adalah wayang kulit, wayang beber/karebet, wayang wong, dan wayang kancil. Wayang kulit bercerita tentang kisah ramayana atau mahabarata versi jawa. wayang beber/karebet juga sama hanya saja satu adegan ditampilkan dalam satu lembar kulit. wayang kancil bercerita tentang sato kewan, yang sering disebut fabel. wayang wong sama dengan wayang kulit, tapi ditampilkan seperti drama, memainkan kisah ramayana atau mahabarata. dalam wayang itu, dimainkan lakon oleh dalang dengan cara bermonolog. dan isinya penuh simbol dan petuah yang baik

salah satu lakon yang bagus adalah lakon "Tirta Perwita Sari". dalam lakon ini bercerita tentang kisah makrifat diri melalui tokoh werkudara. saya singkat saja, soalnya kalau diceritakan bakal panjang sekali. Pada suatu saat Resi Durna, guru para Pandhawa dan Kurawa, dihasut oleh Arya Sakuni untuk membunuh werkudara. Arya Sakuni adalah paman dari Kurawa dan penasihat negara Hastinapura. Arya Sakuni sadar, werkudara adalah tonggak Pandhawa dan merupakan penghalang bagi kurawa untuk berkuasa di Hastinapura.

Resi Durna termakan hasutan Arya Sakuni lalu memanggil werkudara untuk menghadap. werkudara yang sangat patuh kepada gurunya ini segera menghadap dan bertanya titah apa yang akan disandang kali ini. Resi Durna berkata, didasar laut terdapat air suci. Tirta Perwita Sari namanya. bila meminum air itu, akan mendapatkan kemuliaan. werkudara dititahkan untuk mengambil dan meminum air suci itu. tanpa banyak bertanya werkudara segera berangkat menuju dasar laut tanpa merasa itu adalah tipuan dari sang guru untuk membunuhnya. semua halangan dilewati dan dilalui selama berhari-hari. setelah sekian hari, sampailah werkudara pada tepi laut.

tanpa pikir panjang dia segera menceburkan diri ke laut dan mulai mencari air suci yang dititahkan gurunya. sekian lama mencari kesana kemari air tersebut tidak ketemu hingga tenaganya hampir habis. pada saat itulah muncul Dewa Ruci. Dewa ini persis seperti werkudara hanya saja ukurannya lebih kecil. werkudara bertanya siapakah gerangan. sang dewa ruci menjawab bahwa dialah werkudara, dalam wujud kecil dan halus. werkudara diperintahkan untuk masuk ke dalam kuping sang dewa ruci. di dalam kuping dewa ruci inilah semua rahasia diri dibuka. werkudara menyerap semua ilmu yang diberikan dewa ruci kepadanya. dalam seumur hidup werkudara, baru kali inilah dia berbicara halus. tidak pernah dia berbicara halus walau kepada ibu dan gurunya sendiri. setelah menerima banyak petuah dan pelajaran, werkudara memohon pamit kepada dewa ruci untuk pulang.

Sesampainya di Hastinapura, sang guru dan Arya Sakuni kaget bukan kepalang. dikiranya telah lenyaplah werkudara tenggelam didasar lautan. Werkudara menghadap sembah sang guru dan melaporkan bahwa dia telah menemukan tirta perwita sari tersebut. Sang Arya Sakuni dongkol karena rencana untuk menghabisi werkudara tidak terlaksana.

Apa makna dari kisah ini? kisah ini menuturkan, bahwa untuk mengenal sang Pencipta, kita harus mengenal diri sendiri dulu. Dewa ruci dalam kisah tersebut adalah werkudara sendiri, dalam wujud halus. jadi sesungguhnya werkudara berbicara pada diri sendiri dan menemukan sendiri makna pengenalan diri untuk mengenal sang Pencipta. cerita ini dipopulerkan oleh dalang ki Sunan Kalijogo.

Wah, panjang sekali ya? sudah dulu deh. capek aku nulisnya, mana mata udah tinggal 5 watt lagi. jadi intinya gini, kalu kita tidak bisa menjaga budaya sendiri, siapa lagi yang akan menjaganya. apakah hanya akan menjadi seonggok tiang dan akan runtuh terkikis oleh waktu? Tanggung jawab ada dipundak kita semua teman-teman! Sebagai generasi muda yang mewarisi budaya tersebut tentunya kita jaga dan kita lestarikan budaya kita!


DJ Baba

Ojo lali marang budayane dhewe

2 komentar:

Anonim mengatakan...

walah walah... aq dudu wong jowo aseli.. tur yo ngajeni mending nganggo boso indo wae nek ngbrl kro sing luwih tuwo....luwih aman dab

nek bhs inggris kui yo ptg, delok wae buku2 kuliah mu, ra ono sing bhs cina to?????LAGIAN BHSINGGRIS LUIH gampang di sinauni wekekekkeke lagian kue yo lagi ngurusi sing jenenge english debate competition .... ho ho ho

aq ra tek mudeng pewayangan tapi aq ngerti nek dikemas apik ngko akeh cah2 nom koyo aq iki tertarik. buktine yo sendratari ramayana i love that!!!! aq ngerti nek critane kui apik2 tapi penyampaine sing sok ketok kuna.. padahal kadang luih apik sko hari poter... aq sok mikir kapan sutradara indonesia iso nggawe crita tradisional dadi ketok apik.. modele dadi koyo william wallace(kan kui crita tradisional wales, tur apik to kemasane) la nek indonesia sopo ngerti iso nggawe The Legend of Gadjah Mada, ato Gadjah Mada The Conqueror ato apalah... penetrasi budya jawa ndompleng media2 modern why not??? asal intine mengena i think its ok

Anonim mengatakan...

Wah nek aku yo bingung e crita wayang karo boso kromo inggil meskipun cah jowo asli...

Sak ngertiku sih ono komunitas gamelan di jalan gayam, dkt gero...

sing nguri2 kebudayaane dewe..